Baru
beberapa bulan saya bersekolah di SMPN 1 Ponorogo, saya sudah populer dan
terkenal. Bukan karena prestasi tetapi karena menabrak kaca masjid. Peristiwa
ini terjadi pada Kamis Wage, malam Jumat Kliwon tanggal 5
Ramadhan 1424 H atau 30 Oktober 2003 M, pukul 22.00 WIB. Pada waktu itu adalah
ketika kegiatan Pondok Ramadhan di SMPN 1 Ponorogo.
Peristiwa bermula ketika pukul 20.30 WIB
selesai shalat tarawih ada kegiatan tadarus. Aku mengambil Al-Qur’an di masjid
untuk dibawa ke dalam kelas. Selesai tadarus maka saya mengembalikan lagi
Al-Quran ke dalam masjid. Saya membawa sambil agak tergesa – gesa dengan berlari. Dan celakanya
ternyata tak terasa saya menabrak kaca jendela masjid.
Keadaan di dalam masjid sangat terang,
sedangkan di luarnya agak gelap, kaca masjid jernih bening dan ukurannya lebar
terlihat seperti pintu. Ketika menabrak saya merasa seperti tersandung sesuatu, sayapun langsung bangkit berdiri dan mengambil Al-Qur’an yang terjatuh dan
mengambil kopyah dan memakainya lagi. Lalu saya melihat ada darah menetes di
lantai dan merasa wajahku basah, langsung kuusapkan tangan ke wajah dan
ditanganku penuh darah.
Seluruh
peserta pondok ramadhan kaget mendengar suara ketika saya menabrak kaca, ada
yang mengira piring jatuh dan sebagainya. Selama terjadi peristiwa itu saya terus tersadar dan bisa melihat keadaan disekelilingku. Saya ditolong oleh
seorang guru dan menggendongku ke dalam mobil yang selanjutnya dibawa ke RSU
Aisyiyah Dr. Soetomo Ponorogo. Sesampai di sana saya langsung masuk UGD, seluruh pakaian dilepas tinggal celana
pendek saja.
Di dalam UGD saya belum merasakan sakit atau perih, tetapi merasa kedinginan dan mengantuk. Mungkin karena pengaruh obat bius pada daerah luka yang semuanya terletak di kepala dan semua luka di kepala mendapat jahitan. Di bibir, pipi sebelah kiri, pilingan sebelah kanan, dan kepala bagian belakang. Sedangkan luka lain hanya goresan kecil di tangan sebelah kiri.
Saya melihat beberapa teman dari Al-Idris dan Zapo yang datang menjenguk malam itu. Dan malam itu juga bapak ibuku datang, aku yang cukup tegar tidak menangis akhirnya tak kuasa menahan air mata ketika melihat ibuku menangis mengkhawatirkan kondisiku.
Dua hari di rumah sakit sejak malam jumat sampai sabtu siang, akupun diperbolehkan pulang. Ketika dirumah banyak juga orang yang menjenguk dengan membawa berbagai macam makanan serta memberiku uang saku. Waktu itu bulan puasa dan saya tidak melaksanakannya beberapa hari. Meski tidak ada pantangan makanan dan tersedia banyak makanan, mulut ini susah dimasuki makanan karena bibir sebelah kiri mendapat luka jahitan. Makanpun pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.
Tidak sampai 2 minggu kemudian aku sudah masuk sekolah. Dari asuransi Jasa Raharja mendapat santunan 500.000 rupiah dipotong pajak menjadi 475.000 rupiah. Padahal biaya rumah sakit sudah mendapat asuransi dari Askes. Mengingat waktu itu uang saku untuk makan 3 kali sehari selama seminggu hanya 30.000 ribu, maka uang 475.000 rupiah bisa untuk uang saku selama 16 minggu alias 4 bulan.
Dua tahun berselang, ketika kelas 3 SMP ternyata masih ada serpihan kaca yang tertinggal di kepala. Serpihan kaca sepanjang 1 cm yang tertanam selama dua tahun di bawah kulit kepala bagian belakang akhirnya bisa keluar,... Selama itu pula aku merasa ada yang mengganjal di kepala ketika tiduran di lantai tanpa alas, tetapi tak pernah ku merasakan sakit.
Itulah sebuah pengalamanku,….. bisa menjadi sebuah cerita yang selalu
diingat pula oleh teman-teman Zapo lulusan 2006,…..